Oke.. mungkin memang ekspektasi ku terlanjur tinggi untuk segala hal yang berbau 'tulisan' atau 'karangan'.
Entah itu puisi, artikel, rangkaian kalimat dalam skripsi, atau bahkan sekedar tulisan tidak penting dalam status atau blog seseorang.
Well, setiap kali aku melihat tulisan (dalam bentuk apapun) karya seseorang, maka yang kulakukan pertama kali adalah mengkritisi struktur kalimat (kalimat tidak boleh punya anak kalimat, dalam artian hanya boleh terdapat satu ide dalam satu kalimat), serta bentuk - bentuk kata yang digunakan (apakah si penulis menggunakan kata - kata baku, apakah penulis tidak bisa membedakan antara kata baku dan tidak baku, apakah penulis bisa membedakan antara kata dalam bahasa gaul ataukah kata dalam bahasa secara formal).
Setelahnya, aku bisa menyimpulkan... apakah ide dalam status atau tulisan tersebut cukup penting atau tidak, apakah penulis terlanjur bodoh dalam bahasa (terlihat dari kata - kata yang digunakan), atau apakah penulis adalah sosok yang 'kosong' tapi berusaha agar terlihat 'berisi'.
Terlepas dari latar belakangku yang sama sekali tidak pernah menempuh pendidikan formal dalam bidang sastra dan bahasa, tapi aku selalu merasa kalau aku cukup kompeten dalam bidang kritik mengkritik tulisan, atau karang - mengarang kalimat.
Kenapa? karena aku terlalu mencintai hal - hal tersebut. Dan aku tidak pernah mentolerir segala bentuk kesalahan kecil yang biasa dilakukan orang - orang terhadap bahasa.
Oke. Kuakui kalau aku pun tidak terlalu mahir dalam menulis. Misalnya, aku tahu novel karanganku 'tidak hidup' dan dalam beberapa bagian 'cenderung membosankan'. Aku tahu kalau aku tidak terlalu pintar menggunakan majas dalam puisi - puisiku, tidak terlalu cerdas memilih analogi dalam puisi, sehingga puisiku seringkali terbaca kurang 'cerdas'.
Tapi bisakah kugunakan 'sedikit kebangganku' agar orang lain bisa menganggapku cukup kompeten?
Faktanya, aku tidak pernah mendapatkan nilai di bawah 8,5 untuk nilai Bahasa Indonesia.
Aku mendapatkan nilai 9 untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia saat Ujian Nasional SMP (tanpa mencontek).
Aku mendapatkan nilai A untuk mata kuliah Bahasa Indonesia di kampus.
Aku memproduksi ratusan puisi sepanjang tahun, beberapa dongeng, beberapa cerpen, dan 3 novel (walaupun tidak publikasi massal).
Aku memiliki kewajiban untuk membaca 'Horison' sebagai hiburan pokok.
(Tahukah kamu ada berapa juta remaja Indonesia yang paham bahwa membaca majalah sastra itu penting?)
Beberapa tulisanku bahkan sempat nongol di surat kabar atau media masa (aku sudah pernah membahas ini kan?).
Dari penjabaran di atas, aku cuma ingin menyatakan bahwa.. seharusnya aku berhak kan untuk mengkritisi beberapa karangan yang kuanggap 'kurang bagus' atau 'tidak cerdas' atau ' bodoh sekali'?
Aku ingin menyatakan diri bahwa 'jangan hanya karena aku tidak kuliah di bidang sastra dan bahasa, lantas aku dianggap tidak kompeten untuk bidang ini'.
Hey!! aku berani bertaruh, bahkan tidak semua mahasiswa sastra pernah menelurkan tulisan mereka di surat kabar. Iya kan?
Jadi, mengapa aku tidak berhak mengkritisi? aku punya cukup pengetahuan untuk bisa membedakan mana tulisan 'cemen' dan mana tulisan 'keren'. Waaupun disisi lain aku sadar aku tidak 'sepintar' itu.
Satu - satunya hal yang mendasariku untuk menulis postingan tentang 'tulisan' kali ini adalah karena pagi ini aku mendapat kiriman tulisan dari seorang teman. Dan sayangnya, dia bahkan tidak mengerti tentang bagaimana seharusnya bentuk 'karangan yang baik'.
Fakta yang terjadi, dia meletakkan dua ide yang berbeda dalam satu artikel. Dia tidak menyusun satu paragraf dengan 'satu ide' (serta kalimat - kalimat yang padu di dalamnya), tapi malah menghamburkan banyak ide dalam satu paragraf. Dia tidak mengerti bahwa paragraf yang baik seharusnya terdiri dari sedikitnya 5 kalimat. Dia tidak membuat judul untuk artikelnya, dan dia juga tidak membuat kutipan langsung (yang sebenarnya diperlukan) dalam artikel.
Well, ini cukup membuatku tidak nyaman. Akhirnya, aku tahu kalau (sepertinya) dia perlu banyak belajar. Tapi aku pun sadar kalau aku juga 'tidak secerdas itu' (aku tahu diri lho!).
Yah... mungkin kami sama - sama perlu belajar, atau mungkin belajar bersama - sama? mungkin saja.
Note :
Aku berharap suatu hari nanti, tidak ada laki - laki yang memberiku satupun puisi karangannya.
Kecuali laki - laki itu percaya bahwa dia adalah penulis unggul.