Sebuah jalan,
tidak selalu lurus dan langsung mencapai tujuan. Ada kalanya kita harus
melewati jalan yang penuh belokan, dan harus beberapa kali memutar barulah
kemudian dapat sampai pada tujuan. Saya pikir hal itu juga berlaku pada hidup.
Dalam
beberapa waktu terakhir, saya menyadari satu hal. Adalah hal yang selama ini
saya kira sudah hilang, atau mungkin sudah layu lalu tertimbun debu dalam hati
saya. Tapi ternyata masih tetap hidup, dan semakin membesar pendaran cahayanya.
Adalah
tentang kecintaan saya terhadap baris – baris puisi, tentang berbagai aturan
bahasa yang harus dipahami, tentang cerita – cerita pendek yang terasa begitu menyenangkan,
tentang drama, tentang Rendra, tentang Chairil, juga Willy Siswanto.
Dalam beberapa
waktu terakhir, saya merasa merindukan. Pada suasana perpustakaan SMP saya
dulu, tentang siang hening dalam perpustakaan temaram itu. Dan saya duduk di salah
satu meja panjang di sana, tenggelam dengan beberapa buku puisi lama. Pada saat
itu, saya merasa bahagia dan damai. Saya merasa berada pada sebuah dimensi
waktu yang berbeda. Ketika itu, saya merasa memiliki dunia saya seutuhnya.
Lalu saya
dihadapkan pada kenyataan bahwa yang menjadi pilihan saya saat ini adalah bukan
sastra. Apakah kemudian saya harus menyesali dan membuang tahun – tahun
berharga saya yang sudah saya lalui dengan teori-teori politik, lalu berbelok
untuk menemui kembali cinta saya dalam lembaran – lembaran buku bahasa?
Saya pikir
melakukan hal tersebut adalah kebodohan terbesar. Saya tentu tidak perlu menyesal.
Saya ikhlas menerima ini sebagai sebuah jalan terbaik yang dipilihkan Tuhan
untuk saya. Dan tentang cinta saya itu, bukankah katanya cinta tidak harus
memiliki? Mungkin cinta saya bisa menjelma seperti angin. Yang tidak terlihat,
namun tetap ada dan memberi nafas bagi saya. Saya bisa hidup dengan cinta itu,
belajar otodidak dengan seluruh hasrat yang saya punya.
Apabila takdir
baik berpihak pada saya, mungkin suatu hari saya benar – benar bisa
memilikinya. Menikmati suguhan bahasa dibawah naungan lembaga resmi yang
ternama. Suatu hari, entah hari itu ada atau tidak.
Sekalipun
tidak, saya akan tetap menyimpan cinta itu sebagai bagian dari hidup saya.
Sebagai sebuah lentera yang menyinari dalam hati, yang pancaran cahayanya tidak
boleh redup apalagi mati.