Pagi ini aku
mendengar dua kali tangisan balita. Pertama, tangisan anak Ibu tukang sayur. Kedua,
tangisan anak Ibu tetangga depan rumah. Penyebab tangisan keduanya adalah sama,
sama – sama disebabkan oleh pukulan tangan sang Ibu.
Adalah hal
yang lumrah menurutku, bahwa ada kalanya sang Ibu kekurangan stok sabar ketika
menghadapi anak balita nya yang sedang rewel. Mungkin si Ibu kehilangan akal,
tidak tahu lagi bagaimana caranya menenangkan si anak. Akhirnya.. pukulan pun
melayang dari tangan si Ibu. Bukan pukulan yang sangat kejam memang, tapi cukup
mampu membuat si balita menangis meraung – raung.
Nah..kalau sudah begitu, tangis
anak tidak akan berhenti...malah semakin menjadi – jadi. Bujukan si Ibu pun
tidak akan mempan, hanya waktu yang bisa membuatnya diam.
Fenomena sosial tersebut sudah
sangat biasa dimataku. Mengapa?
Karena
sejak menginjak usia dewasa, aku kian belajar memaklumi perilaku Ibu – Ibu yang
suka ‘mengoceh’atau memukul gara - gara sikap nakal si anak. Ya, itu perilaku
yang sangat wajar.
Mari ku ajak kalian berpikir
sejenak...
Sepanjang hari sepanjang
waktu.. Ibu telah dibebankan pada banyak sekali tugas rumah tangga. Ketika
terbangun dari tidur, meski matanya masih mengantuk..ia harus segera bangun
untuk menyiapkan sarapan bagi suami dan anak – anaknya. Belum lagi harus
menyetrika pakaian kerja suami dan baju sekolah bagi anak – anak.
Selepas suami dan anak – anak pergi
beraktivitas, Ibu memulai pekerjaan hariannya. Mencuci, mengepel, merapikan
kamar, membersihkan toilet, memasak, membersihkan halaman rumah. Semua
pekerjaan yang tentu saja memakan tenaga dan membuat lelah.
Pada situasi tertentu..misalnya
saat keuangan rumah tangga sedang sulit atau saat harga – harga sedang
melambung naik, pikiran Ibu terkuras untuk memikirkan bagaimana caranya supaya
uang bulanan yang diberikan suami itu cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan
keluarga mereka hingga batas waktu gajian berikutnya.
Begitulah beratnya pekerjaan
Ibu..bukan cuma lelah fisik, tapi juga lelah berpikir.
Lalu diantara kerumitan dan
kelelahannya tersebut, datanglah si anak yang merengek – rengek karena alasan
yang bahkan seringkali tidak jelas.
Bagaimanalah Ibu tidak marah? Bagaimanalah
Ibu masih bisa sabar? Ibu pun lelah dengan segala pekerjaan rumah tangganya..
wajar kalau satu dua kali, ia kehilangan kendali.
Hanya saja..’kekerasan’ yang
boleh dilakukan Ibu tentu tidak boleh berlebih – lebihan.
Mencubit atau memukul sedikit
bagian tubuh anak, masih bisa dikatakan wajar.
Namun jika tubuh si anak sudah
lebam – lebam dan terluka akibat pukulan Ibu, hal ini tentu tidak dapat dibenarkan.
Menurutku,
‘kekerasan’ dalam porsi yang wajar sedikit banyak diyakini sebagai cara yang ampuh dalam mendidik anak – anak.
Contoh kasus..ketika aku masih
kecil. Seperti halnya anak – anak yang lain, aku punya keinginan bermain yang sangat
luar biasa. Kebetulan, waktu itu rumah kami berjarak tidak jauh dari sungai
besar berarus deras. Atas ajakan teman – teman, aku dan adik nekat berenang di
sungai meski sudah dilarang Ibu.
Berjam – jam waktu kami habiskan
di sungai. Sejak siang hari hingga azan magrib berkumandang dari toa masjid,
barulah kami pulang.
Aku dan Adik masih tertawa – tawa
di halaman rumah, membahas mengenai keseruan kami di sungai tadi. Lalu kami pun
masuk ke dalam rumah.
Setibanya di dalam rumah, aku dan
adik langsung disambut Ibu dengan sebilah ikat pinggang. Dengan kasar, Ibu
menarik tubuh kami kemudian mencambuk tubuh kami yang kecil dengan ikat
pinggang tersebut.
“ Udah dibilangin jangan mandi di
sungai.. Udah tau itu airnya kotor, bikin rambut banyak kutu, bikin penyakit
kulit, masih aja mandi disitu. Sampe lupa makan, sampe lupa pulang.. Udah tahu
airnya deres, masih aja mandi disitu..Kalau tadi kebawa arus gimana ha??,” Ibu memaki
sambil terus memukul tubuh kami.
Aku dan adik cuma bisa menangis,
kemudian lari ke kamar dan mengurung diri di sana.
Kejadian
itu masih kuingat sampai sekarang. Setelah dipukul Ibu waktu itu, aku dan adik
mencoba mogok makan malam. Kami kesal dengan tindakan Ibu, kami juga memutuskan
mogok bicara dengannya.
Melihat perilaku kami, Ibu malah
tertawa. Tidak henti dia membujuk kami untuk makan, juga menasehati kalau apa
yang dia lakukan adalah untuk kebaikan kami berdua. Kami masih saja tidak bergeming.
Cuma sepiring nasi dengan tumis
buah pepaya yang akhirnya meluruhkan kemarahan kami. Hahaha... ya, kami tidak
jadi mogok makan. Perut kami lapar gara – gara terlalu lama menangis, butuh
segera diisi.
Begitulah...cara
Ibu mendidik anak – anaknya. Kalian tahu? Sejak dimarahi Ibu waktu itu, kami
resmi kehilangan minat mandi di sungai.
Dan dampaknya tentu saja bagus. Kutu – kutu di kepalaku dan adikku mulai
berkurang karena hal itu. :D
Kadang
‘kekerasan’ dalam kadar yang wajar memang perlu dilakukan untuk mendidik anak –
anak. Terlebih, kecenderungan anak – anak kadang suka ‘ngeyel’ alias membantah
kalau cuma dinasehati. Maka cara satu – satu nya yang paling baik dilakukan
adalah dengan cara memukul.
‘Kekerasan’
yang memberikan manfaat juga sering
dilakukan oleh Guruku semasa SD. Aku ingat.. Nama Bapak itu RP. Munthe..
Beliau adalah wali kelas yang
sangat tegas terhadap murid – murid. Jika ada anak yang suka ribut atau nakal,
beliau akan mencubit atau memukul anak tersebut dengan mistar kayu.
Terlebih pada mata pelajaran
matematika, biasanya kegalakan Bapak tersebut akan semakin menjadi – jadi. Jika
kami tidak bisa melewati tes hapalan dengan sempurna, maka penggaris kayu sudah
menanti kaki kami. Satu pukulan untuk satu kali kesalahan. Begitulah cara
Beliau mengajar.
Namun dibalik kekerasan tersebut,
aku merasakan sekali manfaat besar dari caranya mendidik. Faktanya..sampai hari
ini, aku tidak pernah lupa perkalian matematik 1 sampai 10, itu berkat beliau.
Sayang
sekali, kebanyak orangtua dan anak – anak jaman sekarang..menganggap bahwa
kekerasan kecil seperti tersebut sebagai bentuk penganiayaan. Padahal, itu
adalah cara yang cukup efektif dalam mendidik anak.
Maka
aku tidak heran kalau banyak anak sekarang nakal – nakal dan tidak bisa membaca
atau bahkan tidak mampu berhitung. Itu tentu karena tidak dididik dengan keras.
“ Guru – Guru jaman dulu semuanya
suka memukul. Ustad – Ustad di pesantren Ayah dulu juga begitu. Kalau tidak bisa
hapalan, ya dipukul. Bukan untuk menyakiti anak – anak, tapi untuk mendidik
supaya ada efek jera. Supaya ada keinginan belajar yang lebih keras karena
takut dipukul, karena takut sakit. Makanya, kecenderungannya orang – orang jaman
dulu itu memang lebih disiplin, lebih baik budi pekertinya, dan lebih cerdas daripada anak – anak sekarang “,
kata Ayah suatu kali.
Mendengar penuturan Ayah, aku
langsung membayangkan adegan di film – film ‘Saolin’.
Ya..memang benar, murid – murid Saolin
pun harus ‘dikasari’ dulu, baru bisa punya kunfu yang handal.
*Ah..Jaman memang mulai berubah.