Kamis, 20 Juni 2013

Dongeng Sang Peri Fajar #2


                Peri Fajar meresapi dingin angin malam yang singgah di atap rumah. Ia memandang jauh pada rembulan yang menggantung. Peri fajar sedang menghitung waktu.. dan ia tahu, hari ini sayap Pangeran Maya sudah bertambah satu.

Oh ya.. apakah peri Fajar lupa bercerita? Pangeran Maya memiiki dua puluh sayap kecil. Sepuluh di kiri dan sepuluh di kanan. Lalu hari ini sayap itu akan bertambah lagi satu. Satu sayap baru yang akan menyempurnakan gerak pangeran. Menguatkan dirinya untuk terbang, mencari  ‘Ratu’.
Satu sayap baru,akan tumbuh di sebelah kanan. Peri Fajar tahu itu dengan pasti.. Ya, bukankah dia yang merawat pangeran waktu itu?


                Pagi tadi, peri Fajar juga sempat mendengar kabar dari burung – burung negeri maya, kalau pangeran akan mengadakan pesta. Seluruh peri di negeri ini resmi diundang. Namun Peri fajar tahu, istana pangeran bukanlah tempat yang tepat bagi peri buruk rupa seperti dirinya.

                Maka malam ini, peri fajar memilih duduk merenung.. memandang bulan separuh yang menggantung.

 Ia ingat, dahulu pangeran maya pernah bertanya
“ Fajar.. apakah kamu merawat semua orang sama sepertiku? Menemani mereka bercanda, bercerita?,”
Peri Fajar tersenyum.
“ Tidak pangeran. Hanya kepada beberapa, tidak seluruhnya..,”
Lalu pangeran tertawa suka.


                Peri fajar mendengus berat. Ditatapnya sekali lagi bulan yang menggantung di langit. Ia berkata ketus,
“ Kenapa bulan itu harus separuh? Bukankah kemarin bentuknya bulat?,”
Peri Fajar terheran – heran.


“ Hei.. apa kamu tidak mau datang ke pestaku?,”
Sebuah suara mengagetkan peri Fajar. Suara yang berasal dari pekarangan rumah. Didapatinya pangeran berdiri disana dan tersenyum. Apa ia sedang bermimpi?
Peri Fajar tercenung tidak percaya, namun ia menjawab juga..
“ Apalah arti kehadiranku pangeran? Aku tidak cukup elok untuk berada di sana. Disana bukan tempatku, lagipula.. aku hanya akan mengganggu..,” kata peri Fajar rendah diri.

“ Siapa bilang? Aku ingin kamu disana..,” pangeran membujuk.
“ Pangeran mengejekku? Atau mengasihaniku? Atau merasa bersalah karena pergi waktu itu? Haha.. sudahlah, lupakan saja. Tapi.. hmmm.. apakah pangeran bisa menjelaskan padaku? Lihatlah bulan di atas sana pangeran. Mengapa kini tinggal separuh? Belum saatnya bulan itu terbelah. Ini masih musimnya untuk satu,”
Peri fajar lagi – lagi menatap heran pada bulan.


“ Mungkin karena separuh rembulan itu, sudah kau berikan padaku?,” jawab pangeran.


Peri Fajar terbelalak. Ia kemudian tertawa, tawa yang aneh.

_..._

Senin, 17 Juni 2013

Twit #Penggalauan

Hanya saja kamu, tampak serupa rembulan yang memantul dalam air. Murni terang, tapi tak dapat digenggam.



Kepada malam apabila telah sunyi. Biar kujemput pagi dengan janji yang baru lagi. #penggalauan



Di embun itu, sebuah senyum menari dalam sejuk. Kepada pelangi ia tengadah, maukah hujan menyirami bumi yang kering? #penggalauan




Sajak Cengeng

Dari jendela kaca nan kecil, kudapati pendar – pendar cahaya mulai memudar..

Merangkak, terbang, tertinggal di belakang.


Lalu kualihkan pandang pada jalan yang gelap dan panjang yang terbentang di hadapan.


Aku mendengus, lelah...



Jadi.. berapa lama lagi waktu bagiku, untuk segera sampai pada ‘rumah’ku?

Minggu, 16 Juni 2013

" Dongeng Peri Fajar "

Dongeng Sang Peri Fajar

Dahulu kala, hiduplah seorang peri bernama Fajar. Dia salah seorang peri di negeri maya. Sejak kecil, Peri ini tidak elok.. wajahnya rusak dan rupanya buruk sehingga setiap hari dia selalu memakai topeng. Sayapnya pun hanya sebelah, karena satu sayapnya sudah lama patah saat dia sibuk berlari mengejar matahari.


Jika pekerjaan peri yang lain adalah menebarkan berkat ke seluruh negeri, menebarkan bibit – bibit bunga, menebarkan warna pelangi di angkasa.. Sungguh pekerjaan Peri Fajar sangat berbeda.

                Dia punya pekerjaan khusus, yaitu merawat orang - orang yang terluka dalam perjalanan menebarkan berkat. Pekerjaan yang melelahkan, sebab cara menyembuhkan luka – luka mereka adalah dengan menghisap habis luka tersebut, dan menyimpannya dalam tubuh peri Fajar.


                Seringkali peri Fajar merasa iri, mengapa pekerjaannya tidak sebaik peri – peri yang lain? Mengapa harus dia yang menghisap habis luka – luka mereka dan membuat sesak sendiri  tubuhnya?

                Peri Fajar mencoba berontak.. dia berlari menyusuri semesta, mencari jawaban dari pemilik langit..

“ Wahai yang Agung.. mengapa harus aku? mengapa harus aku yang lelah ditimbun luka? Mengapa bukan peri – peri penebar madu saja? Mengapa harus aku? apakah karena aku terlalu buruk rupa? Kau sungguh tidak adil!!,”


Peri Fajar menangis, menangkupkan wajahnya pada tanah.

“ Apa kamu tahu, mengapa namamu ‘fajar’?,” sang pemilik langit bertanya.
Diantara sesenggukan, peri Fajar berkata – kata..

“ Tidak yang mulia...,”

“ Adalah kamu fajar.. sang pemilik jutaan harapan. Melalui fajar, begitu banyak harapan – harapan dititipkan untuk tumbuh.. mekar bersama pagi. Hanya lewat fajar.. hanya lewat kamu, harapan – harapan indah itu bisa tumbuh dan besar..,”


“ lalu.. kenapa harus aku yang menelan semua luka itu? Aku lelah Yang Mulia.. aku lelah.,”

Peri fajar menengadah ke atas langit, menuntut jawaban. Tapi Yang Mulia diam.

Peri fajar pun pulang dengan langkah gontai.

                Malam hari, datanglah sesosok pangeran. Dia begitu tampan. Peri Fajar menyambutnya dengan riang. Mereka mengobrol sebentar.

“ Dari manakah kamu berasal?,” tanya peri Fajar.

“ Aku Pangeran negeri maya.. akulah penguasa ketampanan..,”
Mendengar penuturan pangeran maya, Peri Fajar sempurna terpesona.

                Ditemaninya sang pangeran bercengkrama sambil pelan – pelan peri fajar bekerja, menyembuhkan sayap pangeran yang baru saja patah.


“ Kamu begitu baik, mau mengobati lukaku. Kalau luka – lukaku sudah sembuh.. maukah kamu terbang bersamaku? Kita seberangi bianglala.. berdua saja?,” ujar sang pangeran dengan serius.
Peri Fajar ternganga.

“ sudahlah.. tubuhku sudah ringkih oleh jutaan luka. Aku pun buruk rupa.. pangeran tentu malu bersama – sama denganku..,”
Peri Fajar khusyuk menyelesaikan pekerjaannya. Beberapa pekan berlalu.. sayap sang pangeran hampir sembuh.
“ Duhai peri Fajar.. jika sayapku sembuh kali ini, bolehkah aku meminta satu hal?,”
Peri fajar tersipu malu.
“ Apakah itu pangeran?,”
“ Maukah kamu membuka topengmu untukku?,”

“ Baiklah...,”
Hari yang dinanti – nanti pun tiba.. Pangeran duduk diam dihadapan peri Fajar. Menunggu peri membuka seluruh topeng yang dia kenakan.


Ketika topeng tersibak.. tampaklah wajah peri Fajar yang busuk bernanah, coreng – moreng goresan luka memenuhi parasnya.
Pangeran Maya ketakutan.. berlari tunggang langgang meninggalkan peri Fajar sendirian.
Peri Fajar diam.. menangisi kepergian pangeran.

                Sekali lagi, peri Fajar berlari.. mengongsong semesta, kembali bertanya kepada yang Mulia..
“ Kenapa Duhai Yang Mulia.. kenapa mereka harus pergi oleh karena wajah yang buruk ini? Kenapa mereka harus pergi.. bukankah aku yang menyembuhkan luka mereka? Tidakkah mereka bisa menerima kebaikanku saja, tanpa melihat rupaku yang begini buruknya?.. kenapa yang Mulia.. kenapa?,”


“ Percayalah Fajar.. waktu akan menyembuhkan segalanya. Percayalah..,”

Begitulah jawaban Sang pemilik Langit.

“ Usap air matamu duhai Fajar. Hari baru akan datang, waktu bagimu adalah penyembuhan. Tersenyumlah duhai fajar..,”

_THEEND_


Jumat, 14 Juni 2013

Asin

Apakah mitos ‘kalau masak sering keasinan artinya kebelet pengen nikah’ yang sering dibilang orangtua jaman dulu itu benar?

Kalo gitu.. aku kebelet kebelet kebelet banget dong pengen nikah?


Jadi pagi ini... Untuk yang kedua kalinya aku mencoba menumis daun singkong. Mencoba menyetarakan rasa tumisan itu dengan buatan Mamak dirumah.


Kali pertama, tumisan daun singkong itu sukses kemasinan. Rasa asin yang bukan sekedar asin tapi benar – benar asin!!
Kronologis cerita ‘tumis daun singkong 1’ awalnya adalah pada saat memasak, bumbu yang kumasukkan dan kucicipi terasa sudah pas. Lalu kemudian daun singkong kumasukkan kedalam bumbu. Kuaduk – aduk beberapa menit. Kuperhatikan tampilan tumisanku tersebut.

Tampak becek alias terlalu banyak kuah. Bukankah niatan awalku adalah membuat tumisan kering daun singkong? Artinya nggak pake kuah.
Maka kemudian kubiarkan tumisan tersebut di atas kompor hingga airnya benar – benar mengering.
Kupikir ketika airnya kering, rasa tumisan tersebut akan tetap sama seperti saat awal aku mencicipi.
Tapi nyatanya tidak. Tumis daun singkong tersebut masin semasin masinnya. Sedih sekali..



Dan pagi ini aku kembali mencoba membuat masakan yang sama. Kali ini tumis daun singkong kusandingkan dengan tempe goreng.

Beberapa waktu kuhabiskan didapur sambil sesekali kembali ke kamar untuk memeriksa game ‘cafeland’ yang kumainkan.

Padahal.. masakannya  sudah kucicipi, bumbunya juga sudah kutakar.
Tapi ketika kuangkat.. ketika semuanya selesai. Mengapa rasanya jadi berubah? Bukankah tadi rasanya baik baik saja? Atau.. rasa yang ‘baik – baik’ itu Cuma ilusiku saja?


Fiuh.. nggak tau deh. Apakah aku benar – benar kebelet nikah atau memang mut-mutan kalau sedang memasak.

Tapi..seandainya mitos ‘kebelet nikah’ itu  benar..  Sungguh kasihan sekali suamiku nanti.



Sabtu, 08 Juni 2013

Poin penting dari 'Senyum Untuk Penulis'

Beberapa waktu terakhir kuhabiskan waktu dengan membaca sebuah buku yang berjudul
‘ Senyum Untuk Penulis’ karya Eka Budianta.


Buku tersebut belum selesai dibaca seluruhnya, namun sudah kuselesaikan setengah bagian.

Berikut akan kubagi beberapa poin bagus yang kurasa bisa untuk menambah pengetahuan para pembaca :


1. .  Pesan tertulis konon hanya punya efektivias paling tinggi 7%, jauh di bawah pesan lisan yang hampir 30%, dan tindakan langsung yang bisa di atas 40%.


2.      Modal utama bagi seorang pengarang adalah jiwa yang merdeka. Dia bergerak karena hatinya bebas, pikirannya luas, karena jiwanya leluasa.


3.      Dalam sejarah perkembangan pers dunia, kita mengenal profesionalisme dan bisnis informasi murni. Kita belajar dari suksesnya Henry Luce, pendiri majalah berita TIME di Amerika Serikat. Atau raja media terkemuka Rupert Mudoch dari Australia. Atau juga sastrawan dan wartawan terkemuka Indonesia seperti Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, Goenawan Mohamad. Sukses mereka justru terbangun karena moralitas yang kuat. Bukan karena sogokan, amplop, apalagi tunduk pada tuntutan ‘perut’ dan rongrongan ideologi. Sejarah menunjukkan bahwa pers Indonesia bisa berfungsi dengan sangat baik, pada zaman yang abnormal, apalagi pada masa yang betul – betul demokratis dan penuh kebebasan.


4.      Paling sedikit ada tiga versi penafsiran Bhineka Tunggal Ika. 1) berbeda – beda tapi sama ( disukai kalangan statusquo dan konservatif ). 2) Sama tapi berbeda- beda (disukai kalangan progresif idealis). 3) berbeda atau sama boleh saja ( didukung kalangan praktis pragmatis)

.
5.      Untuk air, misalnya, kita dapat mengenali berbagai jenis serangga atau kutu air. Bila sebuah sungai masih dihuni oleh banyak satwa, tandanya masih belum terlalu tercemar. Juga bila kita masih menemukan kunang – kunang beterbangan di malam hari, tandanya kualitas udara dan air di sekitar itu masih baik. Kita bisa catat bahwa kunang – kunang sangat peka terhadap udara yang tercemar, dan hanya bisa berkembang di lingkungan yang masih serba alami. Mereka hidup sekitar 7 hingga 10 hari, mengkonsumsi embun dan bertelur di aliran sungai yang jernih.


 
Sedikitnya baru poin – poin itu saja yang bisa kubagi. Masih banyak lembar – lembar berikutnya yang perlu di baca dan digaris bawahi. Kalau sempat nanti akan di-share lagi. :D



Jumat, 07 Juni 2013

Novel - novel itu...

Hmmmm.... Deg - degan nungguin keputusan penerbit 'BUKUNE' mengenai novel - novel yang ku kirimin sekitar satu bulan lalu. Novelku yang judulnya ' Pelangi Selepas Hujan ' , kuikut-sertakan dalam dalam lomba novel Teen & Young Adult BUKUNE. Sedangkan novel yang satunya lagi ' Jika Saja Kau Memilihku ', aku kirimin gitu aja ke BUKUNE.. sayang aja kalau diikutin lomba, ntar kalo naskahnya gak diterima, copian naskahnya gak bakal dibalikin lagi. Nah.. kalo dikirimin tanpa lomba gini, biasanya copian naskah bakal dibalikin... sekaligus sama perbaikan yang dilakukan penerbit tersebut. Biasanya sih... tapi gak tau juga. Kayaknya deg - degan begini bakal berlangsung lama, mungkin sampai september nanti. Keputusan novel kan biasanya 3 sampai 4 bulan baru dapet kabar. Sabar aja lah....

Selasa, 04 Juni 2013

Istimewa

Setiap orang.. punya cara yang berbeda – beda, untuk menjadi istimewa. Yah.. sejauh ini keindahan fisik menjadi tolak ukur keistimewaan yang utama. Makanya.. setiap orang berlomba – lomba mengindahkan diri, supaya terlihat ‘lebih’ dibanding yang lain. Lalu apa? tentu saja, seiring waktu keindahan fisik itu akan memudar dan tidak akan abadi selamanya. Dan ketika keindahan itu sudah menghilang.. jika satu – satunya keindahan fisik saja yang kita punya, mau jadi apa ketika sudah tua? Mencari orang yang bisa menerima ‘keindahan’ kita saja, tentu bukan pilihan bijak. Aku percaya, orang yang terpikat oleh kamu karena keindahan fisik kamu saja.. suatu hari akan meninggalkan kamu dan pergi ke orang lain yang lebih indah lagi. Lalu apa? jika sudah begitu kita bisa apa? Tidak perlu munafik dengan bilang kalau fisik itu tidak penting. Aku ingat kata – kata Dedy Corbuze dalam talk show ‘Hitam Putih’ nya: ‘ Jika anda tidak melihat fisik seseorang, lalu apa yang anda lihat saat pertama kali bertemu?’ Tentu saja hal itu benar! Fisik itu penting. Namun.. jangan pernah sekalipun melupakan keistimewaa karakter. Aku punya cerita tentang seorang teman laki – laki ku. Beberapa minggu yang lalu, dia baru saja putus dari pacarnya. Ketika kutanya.. apa penyebab mereka putus. Kamu tahu apa jawabannya? ‘Dia selingkuh sama temen gue.. padahal tu cowok gak ada cakep – cakepnya dibanding gue!!!,’ Kemudian menggalau-lah ia setiap malam. Bagaimana tidak.. kalau kulihat – lihat, keduanya memang tampak begitu serasi. Si perempuan sangat cantik ( menurut pandanganku, perempuan ini mirip Vina Candrawati si pelukis pasir IMB, :D). Sedangkan teman laki - lakiku yang satu itu juga tampan dan sangat Fashionable. So.. dimana letak kekurangan mereka? Entahlah.. aku tidak bisa menerka – nerka lebih jauh. Hanya saja, menurut analisis dari luar ( seperti yang biasa kulakukan ) : Bahwa pesona keindahan fisik nyatanya tidak bisa bertahan terlalu lama. Mungkin bisa sekitar beberapa bulan di awal – awal hubungan. Lalu setelah itu.. kita tentu terlalu terbiasa dengan wajahnya, suaranya, gerak tubuhnya. Semua tidak akan menyilaukan lagi bukan? Setelah kilau pesona itu menjadi biasa.. karakter pribadi pasti muncul dan mendominasi pola hubungan. Dan.. dalam kasus teman laki – lakiku yang satu itu, kupikir... si perempuannya ( katakanlah X pacar )itu sudah terlanjur terpesona oleh karakter yang lain. Keistimewaan karakter sosok yang lain, yang berbeda.. yang mungkin lebih bisa ia terima dalam hidupnya. Atau.. dengan kata lain ; lebih bisa membaur dengan hidupnya dan segala aktivitas sosial yang dia punya. Jadi.. kesimpulan dari posting kali ini : ada banyak keistimewaan lain yang ada dalam diri masing – masing orang. Yang perlu kita lakukan? Menemukan keistimewaan itu.. :D Fisik.. memang memunculkan pesona yang paling kuat sepanjang masa, membuat orang betah berlama – lama memandangnya. namun karakter jelas lebih abadi, membuat orang mau.. menghabiskan hidup lebih lama bersamanya. :D

Sabtu, 01 Juni 2013

Mati

Apa kita punya pilihan? Aku aku sempat punya pilihan? Tidak. Sejauh ini, pilihan untuk memiliki cahaya yang kudamba tidak pernah ada. Yang nyata hanyalah pilihan untuk menjauh dari cahaya.. lalu pergi menyusuri lorong gelap. Berusaha mencari cahaya baru yang lebih mampu menerangiku. Apa aku sempat punya pilihan? Tidak. Yang harus kulakukan lagi dan lagi hanyalah pergi. Sejauh – jauhnya..kemudian pura – pura tidak mengenal. Selalu seperti itu bukan? Kali ini juga.. Pergi sejauh – jauhnya. Tanpa pernah dia tahu, bahwa hal yang kunyatakan itu sudah sekian lama ada.. Bukan hal yang baru sehari dua hari ini nyata. Apa aku sempat punya pilihan untuk memiliki? Tidak. Aku hanya punya pilihan untuk pergi.. Menghilang, lalu mati. Tanpa meninggalkan jejak. Tanpa pernah terlihat. Berakhir, Selesai.

Ilusi, hati?

Hanyalah sebatas ini .. kita bisa bicara dan saling berbagi. Sejauh ini emang gitu. Sungguh, pada kenyataannya perasaan yang dalam itu memang hanya hasil cipta karya dan karsa dari ilusi hati. Gak bakal ada yang percaya. Sekuat apapun kamu berusaha meyakinkannya. Sekuat apapun kamu sudah merasakannya. Jadi..buang aja hati kamu! Dibikin mati, biar gak kecewa. Biar gak dipandang gak normal. Mati aja, udah. Selesai.